Bila Hati Rindu Ke Baitullah


Bila Hati Selalu Rindu Ke Baitullah
Selalu Rindu Ke Baitullah

Saat menunaikan ibadah haji, semua akan merasakan kenikmatan yang berbeda di Mekkah, Arab Saudi. Meski sudah berada di Tanah Air, rasa rindu untuk kembali ke Baitullah selalu ada. Begitulah kira-kira ungkapan orang-orang yang sudah berhaji ke Baitulah, sehingga tidak heran walaupun sudah berkali-kali pergi ke tanah suci masih saja banyak orang yang berniat untuk berhaji lagi tahun berikutnya.
Meski tak ada air terjun seindah Niagara di tempat ini. Tak ada pula aneka taman bunga yang indah berseri. Ataupun dunia fantasi yang menyenangkan buah hati. Tapi semua pengunjung merasa nyaman di tempat ini. Banyak hati rindu untuk mendatangi, dan banyak doa terlantun agar bisa mendatangi.
Itulah Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah dimana Ka’bah berada didalamnya. Tak ada tempat ibadah ataupun wisata manapun yang lebih banyak dikunjungi dari tempat ini. Dan tak ada lokasi yang lebih mengesankan dan lebih dirindukan berkali-kali melebihi tempat ini.
Ada yang berkisah : "Meskipun aku telah menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu, masih aku haus ingin kembali ke Baitullah. Bila semuanya memungkinkan, ingin selalu menumpahkan rasa rindu dengan Tanah Suci dengan berumroh".
Yang lain juga ada yang berkisah : "Tangisku tak pernah bisa terbendung, ketika membaca doa Tawaf Wada. Kubacakan lantunan doa di depan Ka'bah, di antara Maqom Ibrahim dan Hijir Ismail. Saat itu, hati terasa sedih ketika aku hendak berpamitan pulang".

Sudah Selayaknya Hati Ini Rindu
Bagaimana seorang muslim tidak merindukannya. Disitulah tempat dimana Islam bermula, tempat dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan. Disitulah banyak peristiwa besar dan mengesankan terjadi dalam sejarah. Membaca dan mengingat sejarahnya saja, membuat hati kita haru, lantas bagaimana kiranya tatkala kita bisa menginjakkan kaki di sana.
Namun kerinduan seorang muslim bukan semata-mata karena faktor nostalgia sejarah. Lebih dari itu, banyak sisi fadhilah dan keutamaan yang bisa didapatkan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan dalam Zaadul Ma’ad, “ Allah Ta’ala telah memilih beberapa tempat dan negeri. Negeri terbaik serta termulia jatuh pada tanah Haram. Karena Allah Ta’ala telah memilih bagi nabi terakhir dari tempat tersebut dan menjadikannya sebagai tempat manasik dan sebagai tempat menunaikan kewajiban. Orang dari dekat maupun jauh dari segala penjuru akan mendatangi tanah yang mulia itu.”
Itulah tempat yang diberkahi sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96).
Begitu mulianya tempat itu, hingga shalat didalamnya lebih utama dari seratus ribu shalat di tempat yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, Al-Albani mengatakan “shahih”)
Wajar jika melihat manusia berduyun-duyun memakmurkan Masjidil Haram setiap waktu. Bahkan hinggga kini, terbilang sulit untuk mencari tempat sujud di dalamnya, terutama di bulan Ramadhan dan musim haji. Bukan karena sempitnya tempat, tapi karena saking banyaknya manusia yang ingin mendapatkan tempat sujud di dalamnya. Butuh kesungguhan dan dating lebih awal untuk mendapatkan tempat sujud dengan nyaman.
Ibadah Tingkat Tinggi
Ke tempat yang mulia itu pula Allah Ta’ala mengundang seluruh manusia untuk haji dan beribadah kepada-Nya, bahkan undangan ini berlaku sejak Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam diperintahkan untuk menyeru manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
 “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Sungguh merupakan karunia yang besar jika kita termasuk orang-orang yang diberi kekuatan dan kemampuan untuk mendatangi undangan yang mulia ini.
Haji adalah ritual ibadah tingkat tinggi. Dimana semua potensi dilibatkan dalam prosesnya. Harta yang tidak sedikit harus dicurahkan, segenap tenaga harus dikerahkan, ketegaran mental dan hati mutlak diperlukan. Namun itu semua tak menciutkan nyali orang-orang yang telah merindukannya. Karena hasil yang bisa diraih lebih hebat lagi dari usaha yang dikerahkan.
Betapa tidak, ibadah haji mampu membersihkan dosa-dosa yang kita ‘produksi’ setiap waktunya. Hingga kesempurnaan haji bisa menjadi sebab terhapusnya dosa secara total. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata jorok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan besarnya pengorbanan para hujjaj tersebut, tidak ada reward atau balasan yang bisa menutup dan mencukupinya selain jannah. Terlalu remeh jika balasan haji hanya sebatas gelar haji, sebatas bertambahnya relasi atau lancarnya rejeki. Bahkan kenikmatan dunia dan seisinya masih terlalu remeh dan belum cukup untuk mengganjar orang yang berhaji. Dan hanya jannah yang sepadan dan layak diberkan sebagai balasan bagi orang yang berhaji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dan haji yang mabrur, tidak ada balasan (yang layak) selain jannah.” (HR. Bukhari)
Jadi, hadits ini tidak mengingkari kemungkinan adanya faedah dan keberkahan duniawi yang diperoleh bagi orang yang berhaji. Akan tetapi, sebagai penekanan bahwa hanya jannah yang bisa mencukupi keutamaan orang yang berhaji.
Apa Daya, Bekal Tiada
Meskipun semua orang merindukannya, belum tentu semua mampu menunaikannya. Karenanya, kewajiban haji berlaku hanya bagi orang yang mampu menempuh perjalanannya. Allah Ta’ala berfirman,
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Biasanya, tatkala seseorang membaca ayat ini otomatis tergambar bahwa hanya orang kaya yang bisa berhaji. Sehingga orang-orang yang belum dikarunia kecukupan harta menjadi ciut nyalinya. Dan tak sedikit diantara kaum muslimin yang belum ada gambaran di benaknya untuk berhaji lantaran melihat minimnya ekonomi.
Ia lupa, bahwa ternyata tak sedikit orang yang miskin namun Allah takdirkan bisa menginjakkan kakinya di tanah suci. Sangat menarik dialog seorang tabi’in, Ibrahim bin Adham dengan seseorang yang hendak berhaji. Suatu kali seseorang yang mengendarai unta melewati Ibrahim bin Adham yang sedang berjalan kaki, lalu menyapa,
“Hendak kemana anda pergi wahai Ibrahim?” Beliau menjawab, “Saya hendak pergi berhaji.” Orang itu heran dan berkata, “Mana kendaraanmu? Bukankah jalan menuju Mekkah itu jauh?” Beliau menjawab, “Saya memiliki banyak kendaraan yang anda tidak melihatnya.” Makin penasaranlah orang itu, lalu bertanya kembali, “Kendaraan apa itu?” Beliau menjawab, “Jika terjadi musibah, kendaraanku adalah sabar, jika mendapatkan nikmat kendaraanku adalah syukur, dan jika takdir turun, kendaraanku adalah ridha.”
Beliau tidak bermaksud mengesampingkan kendaraan pengangkut fisik maupun perbekalan materi. Namun dengan kesiapan hati dan kekuatan mentalnya, seseorang akan mampu mencapai tanah suci atau setidaknya memperoleh pahala haji.
Awali dengan Niat, Tempuh Jalan yang Mampu Diperbuat
Yang mesti dilakukan oleh setiap orang yang merindukan haji adalah mengawalinya dengan niat. Dengan niat yang tulus dan ikhlas, ia tak akan luput dari pahala haji. Bisa jadi dengan niat dan tekadnya yang tulus Allah berkenan member kemudahan jalan yang tak disangka-sangka. Dan kisah tentang ini bertebaran dari zaman ke zaman.
Atau jika ternyata Allah tidak mentakdirkan ia sampai ke Baitullah, ia tetap mendapatkan pahala haji karena niatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Perumpamaan umat ini seperti perumpamaan empat golongan; ada orang yang dikaruniai  Allah keluasan harta dan ilmu, maka dia mengelola hartanya dengan ilmunya dan ia tunaikan sesuai haknya. Ada orang (kedua) yang tidak dikaruniai kecukupan harta, lalu dia berkata, ‘Seandainya saya memiliki  harta seperti dia, niscaya aku akan berbuat seperti yang ia perbuat’. Lalu Rasulullah bersabda, “Maka keduanya mendapatkan pahala yang sama.” (HR. Ibnu Majah)
Maka tatkala seseorang belum diberi karunia harta, lalu ia melihat ada orang kaya yang menggunakan hartanya untuk berhaji dan ia bercita-cita seperti itu, niscaya ia mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berhaji.
Tersebut dalam hadits Al-Bukhari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
“Maka barangsiapa yang bertekad melakukan suatu kebaikan dan dia belum mengerjakannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya.” (HR. Bukhari)
Sebagai bukti akan tekad dan niatnya, ia tidak akan tinggal diam. Ia akan berusaha semampunya untuk bisa menjalankannya. Jika seseorang terhalang haji karena kuota yang terbatas, atau antrian terlalu panjang, atau sebab lain sementara dia mampu menempuh perjalanan umroh di bulan lain, hendaknya ia melakukannya.
Diriwayatkan dalam shahihain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma, RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada seorang wanita Anshar, “Apa yang menghalangimu untuk ikut berhaji bersama kami?” Ia menjawab, “Kami tidak memiliki kendaraan kecuali dua ekor unta yang dipakai untuk mengairi tanaman. Bapak dan anaknya berangkat haji dengan satu ekor unta dan meninggalkan satu ekor lagi untuk kami yang digunakan untuk mengairi tanaman.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
“Maka apabila datang ramadhan, ber-umrahlah. Karena sesungguhnya umrah di dalamnya menyamai ibadah haji.” Dalam riwayat lain, “Seperti haji bersamaku.”
Ibnu Rajab Rahimahullah dalam ‘Lathaif al-Ma’arif’ berkata, “Dan ketahuilah, orang yang tak mampu dari satu amal kebaikan dan bersedih serta berangan-angan bisa mengerjakannya maka ia mendapat pahala bersama dengan orang yang mengerjakannya.” Lalu beliau menyebutkan riwayat tersebut sebagai satu contohnya.
Semoga Allah Jalla wa ‘ala memudahkan kita untuk ziarah dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah yang mulia. Allohumma aamiin.
*)Fursanul Izzah – 15 Oktober 2013/10 Dzulhijjah 1434 H, dalam kerinduanku untuk dapat menunaikan ibadah Haji ke Baitullah
[Source : ar-risalah vol.XII no.4/12]
Sebentar lagi saudara-saudara kita akan melakukan wukuf di Arafah. Selanjutnya, mereka akan melempar Jumrah dan Tawaf Wada. Insya Allah, selama melaksanakan ibadah haji, mereka bisa menjadi haji mabrur saat pulang ke Indonesia.

Source : fursanulizzah.wordpress.com/2013/10/17/bila-hati-ini-rindu-haji/
Label:
[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.