SETIAP masyarakat dalam suatu daerah pasti punya caranya
masing-masing agar ibadah yang mereka jalankan pada bulan puasa tetap
berjalan dengan lancar dan maksimal, begitu pula dengan masyarakat
Gorontalo yang mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam.
Berdasarkan buku “Kota Gorontalo dalam Angka Tahun 2008”, yang
dikeluarkan oleh pemerintah provinsi Gorontalo, pada tahun 2008,
penganut agama Islam di Gorontalo sebesar 157. 074 orang. Wajar jika
khasanah Islam masih sangat kental.
Saat bulan puasa tiba, masyarakat Gorontalo pada jaman dahulu biasa menjalankan tradisi pasang lampu atau bahasa Gorontalo-nya, Tumbilotohe. Tradisi
ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke 15 M dan berawal dari keadaan
Kota Gorontalo yang pada waktu itu gelap gulita karena belum dimasuki
listrik, sehingga masyarakat Gorontalo yang ingin melaksanakan shalat
Tarawih ke Mesjid dan menyerahkan zakat fitrah pada malam hari harus
memerlukan penerangan atau lampu.
Lampu yang digunakan untuk dibawa ke mesjid pun pada waktu itu masih
sangat tradisional, yaitu berasal dari damar, getah pohon yang mampu
menyala dalam waktu lama kemudian dibungkus dengan janur dan diletakkan
di atas kayu.
Pada jaman dahulu, lampu yang ada sesuai dengan jumlah anggota
keluarga, jadi setiap anggota keluarga punya lampunya masing-masing.
Pada saat ini, lampu yang digunakan umumnya terbuat dari botol atau
kaleng bekas yang bagian tutupnya di pasangi sumbu kompor. Dan biasanya,
lampu-lampu tersebut di pasang di depan rumah, di jalan-jalan, di
lahan-lahan kosong nan luas, di alikusu atau kerangka pintu gerbang khas
Gorontalo dan di perahu (atau yang biasa di sebut dengan Tumbilotohe Tobulotu atau pasang lampu di perahu). Agar terlihat lebih unik dan kreatif, lampu-lampu yang di pasang oleh masyarakat.
Namun menurut Rumu Tilolango, warga asal Tanggidaa, Gorontalo
Selatan, mengaku, seiring perkembangan jaman, lampu yang ada diganti
dengan lampu minyak kelapa (disebut dengan padamala) yang bahan bakarnya
terdiri dari air yang diberi pewarna, minyak kelapa dan sumbunya dari
kapas (sekarang sumbu kompor), biasanya ditempatkan dalam wadah kecil
seukuran cangkir.
Biasanya, lampu dibentuk gambar masjid, rumah, tulisan-tulisan seperti ucapan selamat idul fitri, dan lain-lain.
Menurut Juliana Alicia Hadju, warga asal Moodu, Gorontalo Timur, bagi
masyarakat Gorontalo, Tumbilotohe mengandung makna yang mengisyaratkan
bahwa lampu yang dipasang sebagai harapan untuk mendapatkan berkah pada
malam Lailatul Qadr atau pada 10 malam hari terakhir bulan Ramadhan.
“Masyarakat Gorontalo percaya dengan tradisi tersebut,” ujarnya.
Menurut kebiasaan masyarakat, sebelum menyalakan lampu, masing-masing masyarakat Gorontalo biasanya membaca surat al-Qadr.
Rusli Arkanie, salah satu Imam Masjid al-Anshor Heledulaa-Limba,
mengatakan bahwa Tumbilotohe diadakan memang untuk menyambut malam
Lailatul Qadr.
“Jadi suasananya harus terang benderang,” ujarnya.
Sementara itu, dalam kalangan NU Gorontalo, biasanya menyebutkan nama
4 Khulafaurrasyidin secara urut terlebih dahulu baru membaca surat
al-Qadr, gunanya untuk menghargai mereka.
Dari jaman dahulu sampai sekarang, tradisi unik ini biasa
dilaksanakan setiap tiga hari atau empat hari sebelum hari Raya Idul
Fitri, tepatnya pada malam ke-27 sampai ke-30 Ramadhan (atau disesuaikan
dengan kemampuan finansial dari masyarakat Gorontalo sendiri).
Sebagaimana hal ini pernah diungkapkan oleh Kasman Abbas, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat kelurahan Limba.
Kasman juga mengungkapkan bahwa manfaat dari tradisi Tumbilotohe ini
karena ingin melestarikan budaya Gorontalo, meningkatkan pariwisata
malam, dan manfaat dari sisi religiusnya karena menyambut malam Lailatul
Qadr.
Pada malam Tumbilotohe, biasanya akan selalu ada orang-orang
Gorontalo yang akan meminta zakati (uang) dari rumah ke rumah penduduk.
Hal ini mungkin dikarenakan, orang-orang Gorontalo percaya bahwa mereka
akan mendapatkan berkah pada malam Lailatul Qadr.
Ratusan Tahun
Meski Gorontalo baru berusia 10 tahun menjadi sebuah provinsi, tetapi
tradisi Tumbilotohe ini sudah berusia lebih dari ratusan tahun dan
selalu dijalankan oleh masyarakat Gorontalo. Sebagaimana hal ini juga
pernah diungkapkan oleh Najib Sulaiman, Kepala Seksi Seni Tradisi dan
Pertunjukkan Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo.
Najib mengungkapkan, tradisi ini memang sudah ada sejak lama.
Seiring dengan berjalannya waktu, oleh pemerintah setempat, tradisi ini
berubah menjadi festival budaya dan menjadi salah satu daya tarik dari
kota Gorontalo sejak 10 tahun terakhir.
Selain dengan lampu botol, masyarakat Gorontalo dalam tradisi Tumbilotohe biasa menggunakan Moronggo (obor)
yang terbuat dari bambu kuning berdiameter kecil, sedang atau besar
yang di isi dengan minyak tanah dan sumbu yang terbuat dari kain atau
sabut kelapa kering.
Ada juga tonggolo’opo atau lampion bambu yang terbuat dari
bambu besar yang ujungnya di belah sesuai dengan besarnya bambu dan di
dalamnya di letakkan batok kelapa sehingga membentuk jari-jari yang
nantinya akan di isi dengan kertas warna warni dan di dalamnya di pasang
lampu botol.
Selain itu, ada juga alikusu atau kerangka pintu gerbang yang terbuat
dari bambu kuning, pohon pisang, dan daun kelapa muda yang dibuat
janur, dan bunggo atau mainan meriam bambu yang juga selalu digunakan
oleh anak-anak muda Gorontalo saat tradisi Tumbilotohe ini masih berlangsung.
Saat saya menyusuri jalan-jalan di kota Gorontalo Jum’at malam,
(26/08/2011), kepadatan dan kemacetan sangat terasa sekali, orang-orang
di Gorontalo rela bermacet-macet ria hanya untuk menyaksikan tradisi
Tumbilotohe yang hanya di adakan sekali dalam setahun.
Yang menarik adalah, saat menyaksikan kreatifitas dari teman-teman
mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo yang mengadakan
tradisi Tumbilotohe dengan gaya mereka sendiri, yaitu dengan memasang
lampion merah besar bergambar tengkorak dan memasang banyak lampu minyak
tanah di sebuah lahan kosong di depan SMP Negeri 3 Gorontalo.
Ramdan, Sekretaris Umum dari acara tersebut mengatakan bahwa tradisi
Tumbilotohe ala Mahasiswa Teknik UNG ini sudah mereka jalankan sejak
tahun 2008 yang lalu.
Selain itu, kampanye dalam tradisi Tumbilotohe juga sangat
terasa, dimana hal ini saya dapatkan saat melihat poster besar berisikan
foto salah satu pasangan Cagub dan Cawagub di sebuah lahan kosong di
area Tanggidaa dengan ucapan selamat idul fitri beserta hiasan lampu,
padahal PILKADA masih sekitar 3 bulan lagi.
Pada tahun 2007, tradisi Tumbilotohe ini juga pernah masuk dalam
rekor MURI sebagai rekor penyalaan lampu minyak terbanyak, karena lebih
dari 5 juta lampu botol dinyalakan di Gorontalo.
Pada saat ini, tradisi Tumbilotohe sudah dijadikan sebagai ajang
lomba oleh pemerintah kota. Setiap tahunnya pemerintah selalu menilai
desa mana saja yang paling kreatif dan paling meriah dalam
Tumbilotohe-nya.
Mudah-mudahan, tradisi masyarakat Gorontalo ini dijalankan dengan
harapan bisa sungguh-sungguh mengambil hikmah yang terkandung dalam
Tumbilotohe, bahwa dalam menjalani kehidupan ini kita memang perlu
penerang (petunjuk) dari Sang Pemilik Cahaya sebagaimana masyarakat
Gorontalo percaya bahwa pada saat menyalakan lampu, mereka mendapatkan
berkah pada malam Lailatul Qadr.
Bukan tradisi yang diadakan sekedar untuk bersenang-senang tapi juga
sebagai muhasabah untuk masyarakat Gorontalo di tiga malam terakhir
bulan Ramadhan ini.
Wallahu’alam.*/Sarah Mantovani, Gorontalo
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
telah dipublish oleh hidayatullah.com
dengan judul "Tumbilotohe: Tradisi Malam Lailatul Qadr ala Gorontalo"
dengan judul "Tumbilotohe: Tradisi Malam Lailatul Qadr ala Gorontalo"